Rabu, 13 April 2011

TAFSIR TENTANG PRINSIP BEREKONOMI

SURAT AL-BAQARAH AYAT 168-169
1. Ayat
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ . إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.

Terjemahan makna ayat

" Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. 2:168)
"Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. 2:169)

Asbab Al Nuzul
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya di dalam al-Quran.

Munasabat Al Ayat
Ajakan yang ditujukan bukan hanya kepada orang-orang beriman, tetapi untuk seluruh manusia seperti terbaca diatas. Ini menunjukkan bahwa bumi disiapkan Allah untuk seluruh manusia, mukmin ataupun kafir. Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan yang haram. Dalam ayat ini, Allah memperbolehkan mereka makan semua makanan yang ada di bumi, yakni yang halal dan baik, lezat dan dan tidak mengandung bahaya bagi badan atau akal dan urat syaraf.
Makanan yang halal adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama memakannya. Makanan haram ada dua macam yaitu yang haram karena karena zatnya seperti babi, bangkai, bangkai, dan darah dan yang haram karena sesuatu bukan dari zatnya seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dimakan atau digunakan. Makanan yang halal adalah yang bukan termasuk kedua macam ini.
Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Tuhan, supaya dikabulkan oleh Tuhan. Maka berkatalah Rasulullah SAW : ”Wahai Sa’ad ! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Tuhan, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”
Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa juka dibandingkan dengan apai neraka. Biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram.
Makanan atau aktifitas yang berkaitan dengan jasmani seringkali digunakan setan untuk memperdaya manusia. Karena itu, lanjutan ayat ini mengingatkan ”Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan”.
Setan mempunyai jejak langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah demi langkah, tahap demi tahap. Langkah hanyalah jarak antara dua kaki sewaktu berjalan, tetapi bila tidak disadari, langkah demi langkah dapat menjerumuskan ke dalam bahaya. Setan pada mulanya hanya mengajak manusia melangkah selangkah, tetapi langkah itu disusul dengan langkah lain, sampai akhirnya masuk sampai ke neraka.
Mengapa demikian? Karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu, atau dia adalah musuh yang tidak segan menampakkan permusuhannya kepada kamu.
”Yang disuruhkannya kepada kamu hanyalah hal yang jahat dan yang keji”. Yang jahat ialah segala macam maksiat, pelanggaran dan kedurhakaan, baik merugikan sesama manusia, atau merugikan diri sendiri, apatah lagi merugikan hubungan Allah. Yang keji ialah segala perbuatan yang membawa kepada zina. Kalau disambungkan kembali dengan suku ayat sebelumnya, ialah bahwa loba serakah kepada harta benda, menyebabkan kesempatan yang seluas-luasnya akan berbuat segala macam kedurhakaan, segala macam kejahatan, yang diakhiri dengan segala macam kemesuman hubungan laki-laki dengan perempuan, yang menyebabkan kacaunya kehidupan dan keturunan. Semua termasuk mengikuti langkah-langkah syaitan-syaitan.
Dan ujung ayat menerangkan lagi :”Dan supaya kamu katakan terhadap allah hal-hal yang tidak kamu ketahui”.(ujung ayat 169)
Sampai kesanalah syaitan akan membawa larat. Asalnya ialah karena tidak menjaga diri dalam hal makan, dalam hal syahwat perut. Akhirnya berlarut-larut menjadi kafir. Ketika telah gagal, karena tentu satu waktu akan gagal, maka keluarlah perkataan terhadap Allah dengan tidak berketentuan, sehingga ada yang mengatakan Allah tidaak adil. Dan kalau orang telah kaya-raya karena harta tidak hala, lalu ada orang yang memberikan nasehat, namun karena petunjuk syaitan, dia akan berkata pula tentang Allah:”Apa Allah! Apa agama! Mana dia Tuhan, itu belum pernah aku melihatnya, aku tidak percaya bahwa Dia ada.”

Kandungan ayat Secara Umum
Allah menciptakan bumi ini dan segala isinya untuk kepentingan manusia. Akan tetapi dari sekian banyaknya ciptaan Allah tersebut, manusia disuruh untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Maksudnya adalah bukan hanya makanannya saja yang halal(diperbolehkan oleh syariat), tetapi juga halal dalam proses mencari makanan tersebut(tidak didapatkan dari perbuatan yang dilarang oleh syariat seperti mencuri, merampok, melakukan riba, korupsi,dll.) karena tindakan yang dilarang tersebut merupakan tipu daya setan yang tidak lain kerjanya hanya menyuruh dan mengarahkan manusia ke dalam perbuatan jahat dan keji sehingga manusia tersesat dan menjauh dari Allah.

Al Ahkam Al Mustanbathah
Makanlah makanan yang halal lagi baik


SURAT AN NISA’ AYAT 29

Terjemahan Makna Ayat

" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.4 : 29)

Asbab Al Nuzul
Menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan bermacam-macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya.

Munasabat Al Ayat
Seruan ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Larangan memakan harta sesama dengan jalan yang batil ini pun ditujukan kepada mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
Ayat ini memberikan kesan bahwa larangan ini merupakan tindakan penyucian terhadap sisa-sisa kehidupan jahiliah yang masih bercokol pada msyarakat islam. Digiringnya hati kaum meslimin dengan seruan ini, “Hai orang-orang yang beriman!” Dihidupkannya konsekuensi iman dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itulah Allah memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta sesama secara bathil.
Kepada orang yang beriman itu dijatuhkan larangan, jangan sampai mereka memakan harta benda, yang didalam ayat disebut”harta harta kamu”,hal inilah yang diperingatkan terlebih dahulu kepada mukmin. Yaitu bahwasahnya harta benda itu, baik yang di tanganmu sendiri atau yang ditangan orang lain, semuanya itu adalah harta kamu. Lalu harta kamu itu, dengan takdir dan karunia Allah Ta’ala, ada yang diserahkan Tuhan kepada tangan kamu dan ada yang pada tangan kawanmu yang lain. Karena itu betapapun kayanya seseorang, sekali-kali jangan dia lupa bahwa pada hakikatnya kekayaan itu adalah kepunyaan bersama juga. Di dalam harta yang dipegangnya itu selalu ada hak orang lain,yang wajib dia keluarkan apabila datang waktunya. Dan orang yang miskinpun hendaklah ingat pula bahwa harta yang ada pada tangan si kaya itu ada juga haknya di dalamnya. Maka hendaklah dipeliharanya dengan baik-baik.
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara-cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari’at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syariat, tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat dari si pelaku untuk menghindari ketentuan hukum yang telah digariskan oleh syariat Allah. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas s.r. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya.
“Kecuali bahwa ada dalam perniagaan dengan ridha diantara kamu”. Kalimat perniagaan yang berasal dari kata tiaga atau niaga. Yang kadang-kadang disebut pula dagang atau perdagangan adalah amat luas maksudnya. Segala jual beli, tukar menukar, gaji-menggaji, sewa-menyewa, export dan impor, upah-mengupah, dan semua menimbulkan peredaran harta benda, termasuklah itu dalam bidang niaga.
Dengan jalan niaga itu, beredarlah harta kamu, pindah dari satu tangan kepada tangan orang yang lain dalam garis yang teratur. Dan pokok utamanya ialah ridha, suka sama suka dalam garis yang halal.
Kemudian datanglah lanjutan ayat :
“Dan janganlah kamu bunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri atau dengan jiwa, tidaklah bercerai-tanggal. Orang mencari harta untuk melanjutkan hidup. Maka selain kemakmuran harta benda hendaklah pula terdapat kemakmuran atau keamanan jiwa. Sebab itu, disamping menjauhi memakan harta kamu dengan batil, janganlah terjadi pembunuhan. Tegasnya janganlah berbunuhan karena sesuap nasi. Jangan kamu bunuh diri-diri kamu. Segala harta benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta kamu. Segala nyawa yang ada, pun adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang itu pun diri kamu.
Demikianlah! Maka, tidaklah dipergunakan cara-cara memakan harta orang lain dengan batil di kalangan masyarakat seperti riba, menipu, berjudi, menimbun, memanipulasi, curang, akal-akalan, menyuap, mencuri, dan menual kehormatan, tanggung jawab, hati nurani, akhlak, dan agama yang biasa dilakukan dalam masyarakat jahiliah kuno maupun modern. Tidaklah diberlakukan hal-hal semacam ini pada suatu masyarakat, melainkan hal itu akan membunuh diri mereka dan menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran.
“Sesungguhnya Allah amat saying kepada kamu”(ujung ayat 29).
Tuhan menyuruh atur dengan baik di dalam memakan harta kamu dan Tuhan melarang kamu membunuh diri kamu, baik orang lain apalagi diri kamu sendiri. Allah hendak memberikan kasih saying-Nya kepada orang-orang yang beriman agar selamat dari pembunuhan yang menghancurkan kehidupan dan mencelakakan jiwa itu. Ini adalah merupakan satu bentuk keinginan Allah untuk meringankan mereka, dan mengingat kelemahan mereka sebagai manusia, yang dapat menjerumuskan mereka kepada kebinasaan kalau mereka lepas dari pengarahan Allah. Maka, mereka akan diseret kelemahannya untuk mengikuti pengarahan orang-orang yang hendak memperturutkan hawa nafsu.

Kandungan ayat Secara Umum
Ayat ini menjelaskan tentang seruan Allah kepada orang yang beriman agar mereka tidak memakan harta sesamanya dengan cara yang batil(dilarang oleh syariat seperti menipu, korupsi, dll.). Akan tetapi kalau mengadakan suatu perniagaan yang dilandasi dengan keridhaan, itu diperbolehkan asalkan tidak saling membunuh dan menjatuhkan diantara mereka karena Allah saja sangat saying kepada manusia, maka sesama manusia hendaknyalah saling mengasihi.

Al Ahkam Al Mustanbathah
Perniagaan diperbolehkan asalkan mengandung unsur keridhaan

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy. 2002. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir jilid I. Surabaya: PT Bina Ilmu
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy. 2003. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir jilid II. Surabaya: PT Bina Ilmu
Hamka. 2002. Tafsir Al Azhar jus II. Jakarta: PT Pustaka Panji Mas
Hamka. 2005. Tafsir Al Azhar jus V-VI. Jakarta: PT Pustaka Panji Mas
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid I. Jakarta: Gema Insani
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid II. Jakarta: Gema Insani
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al Misbah volume I. Jakarta: Lentera Hati

Selasa, 05 April 2011

KEDUDUKAN HARTA WAKAF MENURUT ULAMA DAN UNDANG-UNDANG

BAB I
PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu amalan yang pahalanya akan terus mengalir dan tak akan terputus sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda yang artinya :
“Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah(wakaf), ilmu yang orang manfaatkan dan anak yang sholeh yang selalu mendo’akan orang tuanya”.
Keberadaan wakaf sangat dianjurkan dalam agama islam, di mana kita disuruh untuk menyisihkan sebagian dari harta yang kita miliki untuk dibelanjakan di jalan Allah. Para ahli dan para ulama memiliki perbedaan dalam memaknai kata wakaf. Secara gaaris besar, makna wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk pengguna’an yang mubah (tidak dilarang oleh syara’) serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah SWT.
Hal tersebut dikarenakan manfaat wakaf yang begitu besar. Wakaf tidak hanya bermanfaat bagi orang yang melakukannya(mendapatkan pahala dari Allah SWT), tetapi juga bagi orang lain. Dengan berwakaf, seseorang bisa berbagi rezeki yang didapatnya dengan orang lain. Selain itu dengan berwakaf, kita juga bisa meringankan beban orang lain, selain itu masih banyak lagi manfaat yang lain dari berwakaf.
Dari waktu ke waktu, permasalahan mengenai wakaf terus bermunculan seiring berkembangnya tingkat pengetahuan dan cara hidup masyarakat. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin kalau hal tersebut akan menyebabkan perpecahan antar umat muslim atau mungkin dampaknya bisa menjalar ke tubuh Negara ini karena secara tidak langsung ada hubungan antara Negara dengan masalah wakaf(tanah). Karena itulah diperlukan adanya suatu aturan untuk mengatur hal tersebut agar dapat berjalan kondusif dan tidak mengganggu stabilitas Negara.
Akan tetapi, sebelum berbicara mengenai masalah hukum yang mengatur mengenai perwakafan tersebut, kita harus mengetahui kedudukan wakaf menurut para ulama dan undang-undang. Untuk itu, berikut akan penulis jelaskan tentang kedudukan wakaf menurut para ulama dan undang-undang dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN

II.A. Kedudukan Wakaf menurut Pandangan Ulama
Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian benda tidak bergerak dari kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari pemiliknya(si waqif) dan sah bagi si waqif untuk menariknya lagi serta menjualnya.
Menurut Abu Hanifah, wakaf dapat ditarik kembali kecuali : Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi jika ada persengketaan antara waqif dan nadzir.
Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif. Misalnya si waqif mengatakan, “ jika aku mati maka aku mewakafkan rumahku”, maka wakaf ituu harus dilaksanakan sebagaimana wasiatnya ( dilaksanakan setelah si waqif meninggal dunia ).
Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid dan ia mengizinkan di dalam wakaf tersebut untuk shalat, maka apabila sudah ada seseorang shalat di masjid tersebut, menurut Abu Hanifah, hilangnya wakaf tersebut dari kepemilikan si waqif. Penetapan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu Hanifah mengemukakan dua dalil:
“Dari Ibnu Abbas berkata bahw Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. ”Berkata Ali RAhimahullah, hadis ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada Ibnu Luhai’ah dari saudaranya dan keduanya lemah” (Hadis riwayat Daruqutni).
Berdasarkan hadis di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif, niscaya hal itu merupakan penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. Hal ini dikarenakan, sesungguhnya wakaf itu berkisar antara masalah warisan dan bagian-bagian mereka yang sudah ditentukan.
Di samping hadis yang sudah disebutkan, Abu Hanifah juga mengemukakan hadis lain untuk mendukung pendapatnya tersebut, yakni :
Dari Abi ‘Aun dari Syuraih berkata, “Telah datang Muhammad saw dengan menjual Habs” (Hadis diriwayatkan oleh Baihaqi)
Kemudian Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah saw datang dengan hal yang demikian (menjual habs atau waqf) maka kita tidak tidak perlu menciptakan habs atau waqf yang lain. Sebab, wakaf itu artinya menahan ‘ain(barang yang diwakafkan) sedangkan melepaskan barang wakaf tidak disyariatkan oleh islam.
Adapun wakaf adalah suatu anjuran yang ada dalam sistem ajaran islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’I berkata: “ Sepanjang yang saya ketahui, orang Jahiliyyah tidak pernah menahan sesuatu benda unntuk kepentingan umum(mewakafkan hartanya). Karena habs(menghalangi) adalah tindakan orang islam.”
Meskipun Abu hanifah berpendapat bahwa harta yang diwakafkan dapat ditarik kembali oleh waqif, namun di sisi lain ia juga berpendapat bahwa jika terjadi perselisihan antara waqif dengan nadzir, maka hakim mempunyai wewenang untuk memutuskan bahwa wakaf tersebut harus berlangsung terus dan tidak boleh ditarik kembali oleh si waqif.
Adapun menurut Jumhur, termasuk di dalamnya adalah dua sahabat Abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan, golongan Syafi’iyah dan golongan Hanabilah, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya, tetap ‘ainnya(pokoknya), dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan diwakafkannya itu, harta keluar dari pemiliknya, yaitu si waqif. Jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi si waqif yang terhalang untuk memanfaatkannyamaka wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan. Dalam hal ini Jumhur Ulama memberikan dalil dengan hadis Ibnu Umar :
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )
Artinya :
Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, "Umar menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi disedekahkan hasilnya.

Adapun menurut golongan Malikiyyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat harta yang dimiliki bagi para mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa kemudian hasilnya diwakafkan. Hasil harta yang diwakafkan tersebut dapat berupa benda-benda tertentu. Bahkan, golongan Malikiyyah berpendapat bahwa hasil harta wakaf berupa uangpun dapat diwakafkan asal dimanfaatkan untuk kebaikan.
Oleh karena itu, golongan Malikiyyah tidak mensyaratkan benda yang diwakafkan bersifat kekal. Misalnya, kepemilikan harta melalui sewa, yakni seseorang menyewa rumah atau tanah untuk dimiliki dalam waktu tertentu, kemudian ia mewakafkan hasil atau manfaat benda yang diwakafkan itu kepada mustahiq selama masa itu juga.
Apa yang dimaksud dengan kepemilikan menurut golongan Malikiyyah ini adalah bisa kepemilikan zat tersebutdan bisa juga kepemilikan manfaat. Menurut golongan Malikiyyah, wakaf tidak menyebabkan putusnya hak kepemilikan terhadap ‘ain(pokok) benda yang diwakafkan. Terputus adalah hak membelanjakannya.
Golongan ini memberikan dalil (dasar hukum) mengenai tetapnya kepemilikan pada barang yang diwakafkan dengan hadis Umar Bin Khattab yang sudah disebutkan diatas. Dalam hadis tersebut Rasulullah bersabda :
إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه
“Jika engkau mau, tahanlah aslinya dan sedekahkan(manfaatnya).”
Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang disedekahkan itu adalah hasilnya. Dengan demikian, harta yang diwakafkan tetap menjadi milik si waqif. Hanya saja, ia dilarang untuk mentasarufkan(memindahkan) dalam bentuk kepemilikan pada pihak lain. Pemahaman ini bersumber juga dari dalil Umar yang berbunyi sebagai berikut.
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ
“…..agar tidak dijual, tidak dihibahkan, juga tidak diwariskan.”
Hal ini berarti, menurut golongan Malikiyyah, meskipun status harta yang diwakafkan tetap menjadi milik si waqif, tetapi si waqaf wajib membelanjakan harta tersebut sesuai dengan tujuan di saat mewakafkannya. Ia tidak berhak menjual, menghibahkan, atau mewariskan kepada pihak lain.
Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa si waqif boleh menarik harta yang diwakafkan dan boleh menjualnya kecuali hakim menetapkan wakaf itu tidak boleh ditarik kembali. Sungguhpun demikian, para ulama sepakat bahwa wakaf masjid termasuk dalam bab pembebasan dan pelepasan, tidak ada kepemilikan bagi seorangpun di dalamnya, karena masjid adalah milik Allah SWT.
Dari definisi-definisi yang sudah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa dengan terjadinya wakaf, sifat kepemilikan benda yang diwakafkan menjadi lepas dari si waqif dan secara hukum harta wakaf tersebut menjadi milik Allah SWT.
Akan tetapi, ada diantara para ulama juga berpendapat bahwa kepemilikan harta yang diwakafkan itu tidak harus lepas dari si waqif, karena mereka(dalam hal ini sebagian golongan Hanafiyyah dan golongan Malikiyyah) berpendapat bahwa yang diwakafkan itu manfaatnya, sedangkan pemilikan tetap ada pada si waqif. Hal yang terputus bagi si waqif hanyalah hak-hak untuk membelanjakannya. Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa si waqif bebas memanfaatkan harta yang diwakafkan.
Menurut golongan ini, jika seseorang telah mewakafkan hartanya, kepemilikan atas harta tersebut tidak terputus, tetapi dia tidak boleh menjual, menghibahkan, dan mewariskan harta yang sudah diwakafkan itu kepada pihak lain. Hanya saja, karena benda yang diwakafkan itu tidak diisyaratkan lepas dari si waqif, maka golongan Malikiyyah memperbolehkan manfaat wakaf dari sesuatu yang disewa. Karenanya, golongan ini berpendapat bahwa syarat wakaf tidak harus ta’bid(benda yang bersifat abadi atau kekal).
Pendapat golongan Malikiyyah ini ada kelebihannya, yakni orang yang ingin berwakaf tidak harus menunggu yang bersangkutan memliki tanah(benda yang akan diwakafkan). Tetapi, cukup menyewa benda yang akan diwakafkan hasilnya.
Hal ini jelas banyak manfaatnya terutama untuk memelihara harta wakaf yang ada. Di sisi lain, pendapat ini akan menyebabkan lemahnya lembaga wakaf dan tidak sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama yang mensyaratkan bahwa benda yang diwakafkan itu harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus.

II.B. KEDUDUKAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG
a) Menurut PP 28 Tahun 1977
Dalam ketentuan umum wakaf pasal 1 diberi pengertian :
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”.
b) Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004
Dalam ketentuan umum wakaf pasal 1(1) diberi pengertian sebagai berikut :
“Wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41 Tahun 2004
“Wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.
d) Kompilasi Hukum Islam(KHI)
Sebagaimana termuat dalam BUKU III KHI, wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”.

II.C. ANALISIS
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai kedudukan harta wakaf menurut para ulama dan menurut undang-undang yang ada di Indonesia, dapat kita tarik sebuah pemahaman bahwa antara ulama dan undang-undang memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam menanggapi kedudukan harta wakaf ini. Adapun persamaan dan perbedaan tersebut diantaranya :
1) Persamaan
• Selama wakaf, status harta wakaf adalah milik Allah/milik umum
Hal ini tentu dapat dipahami karena setiap harta yang diwakafkan memang diniatkan untuk kepentingan umum atau untuk Allah. Selama dalam masa itu pula, secara otomatis kedudukan barang itu bukan lagi menjadi milik wakif. Meskipun pada akhirnya nanti, status barang tersebut bisa tidak lagi menjadi barang wakaf apabila wakaf yang dikeluarkan oleh seseorang menggunakan wakaf berjangka ( mazhab Maliki)
• Yang disedekahkan adalah manfaat
Hal ini sudah jelas karena sudah tercantum dalam definisi wakaf, baik itu menurut UU,PP, dan KHI sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa wakaf dimaksudkan untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum. Jadi yang diambil adalah manfaatnya.
2) Perbedaan
Perbedaan kedudukan harta wakaf menurut para ulamadan undang-undang lebih ditekankan pada status harta wakaf tersebut,
• Menurut imam Syafi’i wakaf itu adalah milik Allah karena beliau memegang prinsip kehati-hatian.
• Menurut KHI, harta wakaf itu tidak bisa menjadi hak milik seseorang.
• Menurut UU, harta wakaf masih bisa menjadi hak milik seseorang karena dalam UU masih terdapat ketentuan berlakunya. Penguasaan harta wakaf(ada dalam jangka waktu tertentu)


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Kedudukan harta wakaf menurut para ulama :
Imam Hanafi Harta wakaf adalah hak milik si wakif
Benda wakaf boleh ditarik (kecuali masjid dan tanah yang sudah ada bangunannya yang dibuat oleh masyarakat umum dan untuk masyarakat umum)
Imam Syafi’i
Harta wakaf adalah milik Allah/umum( karena beliau lebih menjaga kehati-hatian)
Imam Maliki Benda wakaf tidak harus dalam bentuk benda yang tetap(misalnya tanah)
Terdapat batasan waktu dalam berwakaf

2. Kedudukan harta wakaf menurut hukum Undang-Undang
PP 28 thn 1977 : Benda yang diwakafkan adalah tanah milik dan diwakafkan untuk selama-lamanya
UU no 41 thn 2004 : Benda yang diwakafkan bisa dalam bentuk apapun yang bermanfaat dan bisa diwakafkan untuk selamanya atau bisa berjangka waktu
PP no 42 thn 2006 : Benda yang diwakafkan bisa dalam bentuk apapun yang bermanfaat dan bisa diwakafkan untuk selamanya atau bisa berjangka waktu

Kompilasi Hukum : Islam Yang mewakafkan bisa perseorangan atau lembaga yang mewakafkan benda miliknya untuk selama-lamanya

3. Persamaan dan perbedaan kedudukan harta wakaf menurut Ulama dan Undang-Undang
Persamaan :
• Selama wakaf, status harta wakaf adalah milik Allah/milik umum
• Yang disedekahkan adalah manfaat
Perbedaan :
• Menurut imam Syafi’i wakaf itu adalah milik Allah karena beliau memegang prinsip kehati-hatian.
• Menurut KHI, harta wakaf itu tidak bisa menjadi hak milik seseorang.
• Menurut UU, harta wakaf masih bisa menjadi hak milik seseorang karena dalam UU masih terdapat ketentuan berlakunya. Penguasaan harta wakaf(ada dalam jangka waktu tertentu)










DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: GEMA INSANI PRESS
Al-Munawar, Said Agil Husin. 2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: PENAMADANI
Haq, Faishal. Wakaf dan Perwakafan di Indonesia. Surabaya: Refka Petra Media
Syaltout, Syaikh Mahmoud. 1993. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih. Jakarta: PT BULAN BINTANG
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAIN di Jakarta. 1986. Ilmu Fiqh.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2008. Kompilasi Hukum Islam. Bandung:CV NUANSA AULIA
Bulughul Maram hadis no 952
Undang-undang no 41 th 2004
Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006